Minggu, 21 Agustus 2011

Ramadhan, Antara Sepinya Lokalisasi dan PSK Yang Mudik

"Emangnya mentang-mentang bulan puasa, kami harus istirahat selama sebulan penuh,  mau makan apa? Lalu kalo kami ga kerja, buat beli baju lebaran anak, terus dananya dari mana? Pemda yang ngasih!!!" Jawab Mbak G dengan nada yang tinggi."
* * *

13137850031918291050
Sebuah pemandangan indah di Jalan raya di sudut Jakarta

Setelah berkunjung  ke rumah teman di daerah Semanan, Kalideres. Saya  dan tiga orang kawan memutuskan untuk pulang ke rumah, kebetulan malam sudah larut sekitar pukul 03 wib, Menjelang sahur tiba. Bersama ketiga orang kawanku, kami rombongan melewati daerah Pesing, Jakarta Barat.
Saat belok kanan ke arah jalan Tubagus Angke, saya mendapatkan suatu "pemandangan" diantara gelapnya malam. Ternyata banyak juga, wanita penjaja seks komersial yang sedang berdiri menantikan kedatangan pria hidung belang. Tepat saat melewati Jembatan Genit, motor kawan yang berada di depan perlahan-lahan mulai berhenti. Tatkala itu dengan heran saya bertanya, kenapa malah berhenti disini, tapi dengan santainya kawan tersebut menjelaskan bahwa ia hanya mencari angin saja, sembari mengopi. Lagipula, imsaknya masih 2 jam lagi, jawabnya.
Karena yang lain pada setuju, lagian tidak enak kalau saya memutuskan pulang sendiri. Masak, pergi bareng, pulangnya pada misah. Akhirnya dengan berat hati, dan deg-degan takut ada razia (terutama massa dan satpol pp) kami ngopi dan nongkrong bareng di emperan jalan dekat bantaran kali.

*  *  *
Tak lama berselang, datanglah seorang wanita dengan pakaian berwarna merah yang terlihat seksi (namun wajahnya tidak begitu tampak, karena saking gelapnya). Dengan tertawa, ia menanyakan kepada kami berempat apakah ada yang ingin "main"...
Kaget, bingung dan saling celingukan diantara kami semua, karena memang niat awalnya hanya sekadar untuk mengopi dan duduk-duduk saja, meskipun dalam hati sekalian ingin cuci mata.
Kemudian salah seorang kawan saya, berinisiatif untuk menawarkan sebatang rokok mild dan juga segelas kopi kepada wanita itu. Namun ia tertawa terkekeh saat ditawari kopi, ia malah mengambil sebotol minuman bersoda sembari menyalakan sebatang rokok yang dikasih kawan saya itu.
Dengan menghisap dalam-dalam rokok mildnya, kemudian wanita tersebut yang mengaku bernama "G" kembali menanyakan kepada kami bahwa diantara kami berempat ada yang mau "ditemani" atau tidak. Dengan sedikit berbohong, kawan saya yang satu mengatakan bahwa ia sedang menunggu seseorang dan belum berniat. Namun dengan gayanya yang genit dan menggoda, wanita itu malah bilang itu sudah basi...

*  *  *
Terus, terjadilah dialog diantara kami berempat dengannya.
Kawan 1 : "Mbak, kok tumben sih sepi, emangnya yang lain pada kemana?"
G: "Yah, begitulah Mas. Kalau bulan puasa memang disini agak sepi, beda dibandingin hari biasa. Sampe-sampe berderet panjang disekitar jalan ini."
Kawan 1 : "Oh..."
Kawan 3 : "Emangnya udah pada mudik ya Mbak?" Kawan saya yang lain menimpali.
G: Iya, sih sebagian udah pada pulkam. Tapi ga juga, soalnya yang lain pada takut ada razia, apalagi kalo bulan puasa mah sangat gencar-gencarnya, ga cuma satpol pp aja, tapi dari Ormas juga banyak. Makanya kita-kita (sebutan bagi G dan kawan seprofesinya) banyak yang takut dan lebih milih mudik.
Kawan 3 : "Mudik? Enak dong, Berarti mereka pada istirahat di kampung ya?"
G : "Enggaklah! Emangnya mentang-mentang bulan puasa, kami harus istirahat selama sebulan penuh,  mau makan apa? Lalu kalo kami ga kerja, buat beli baju lebaran terus dananya dari mana? Pemda yang ngasih!!!" Jawab Mbak G dengan nada yang tinggi.
Melihat perubahan yang drastis dari wajahnya, kemudian aku mengalihkan perhatian Mbak G agar tidak sewot kepada pertanyaan kawanku itu yang polos.
Saya : "Mbak asalnya dari mana, ngedenger logatnya seperti..."
G: "Saya berasal dari Indramayu, pasti sering dengar kan?"
Saya : "Oh, iya iya... Terus teman-teman Mbak yang lainnya?
G : "Sama sih, banyak juga yang satu daerah sama saya, juga banyak yang dari timur"
Lalu ia berkata "Bentar ya, Mas. Ntar saya balik lagi"
Mbak G kemudian beranjak untuk menghampiri seorang pengendara sepeda motor yang berhenti tidak jauh dari tempat kami duduk.

*  *  *
Tidak lama berselang, kemudian Mbak G sudah berada didekat kami dengan kawannya yang terlihat agak sedikit berumur, ya sekitar 30an.
Kawan 1 : "Gimana, Mbak? Kok ga jadi"
G : "Tau tuh orang, nawarnya pelit bener udah murah juga, eh masih mau yang lebih murah lagi. Emang dia pikir punya gw ini aset milik negara apa...!"
Kami tertawa bareng, mendengar perkataan terakhir dari Mbak G itu.
Terus, teman Mbak L yang baru datang ikutan menimpali. "Yah, lo sih semua kesini cuma duduk-duduk doang, males gw nemenin orang yang ga ada duitnya. Gw cabut dulu ya, G..."
Kawan saya yang dari tadi diam saja, ikutan komentar,
Kawan 2 : "Kenapa tuh Mbak, kayaknya sewot amat. Padahal Mbak G aja yang dari tadi ga apa-apa ya."
G : "Tau lah, mungkin dia lagi kesel aja. Dari tadi belum dapet pelanggan. Makanya dia bete ngeliat gw cuma nongkrong sama lo pada."
Kawan 1 : "Emangnya, Mbak sudah dapet berapa...?"

*  *  *
Akhirnya dari mulut Mbak G, ia bercerita tentang profesi yang dia lakuin selama ini. Soal bagaimana ia mendapatkan uang perharinya, terus disetorkan sama siapa saja. Resiko dikejar-kejar aparat karena razia, ditipu mentah-mentah oleh pelanggannya. Kemudian juga soal teman-temannya yang pada mudik dikampung, alih-alih istirahat selama puasa, malah melanjutkan di sepanjang jalur Pantura, warung remang-remang...
Dan juga tentang bagaimana, selama di bulan puasa ini, meskipun tidak berkerja sebulan penuh, namun pontang-panting harus tetap menyisihkan uang untuk keluarganya di kampung agar anak dan saudaranya bisa membeli baju lebaran dan memasak ketupat...
Tak terasa saat melirik jam, sudah lewat pukul 04. Meskipun seru dan menarik, tapi sudah mau Imsak. Dan juga, mau ga mau, perbincangan ini harus disudahi.
Akhirnya, kami beranjak pamit kepada Mbak G. Tak lupa, kawan kami yang tadi disemprot (kawan 3) menyepalkan selembar uang kertas berwarna biru sebagai pengganti uang ngobrol.
Dengan senyum yang terlihat menawan, Mbak G mengucapkan terima kasih dan berpesan supaya kami sering-sering mengobrol dengannya?

*  *  *

...terpisah dari ramai, berteman nyamuk nakal

dan segumpal harapan
kapankah datang tuan berkantong tebal...

habis berbatang-batang tuan belum datang
dalam hati, resah menjerit bimbang...
apakah esok hari
anak-anakku dapat makan...
oh Tuhan, beri setetes rezeki
dalam hati yang bimbang berdo'a
beri terang jalan anak hamba
kabulkanlah, Tuhan...




*  *  *

Dijalan, saat melewati daerah Jembatan Dua, dekat sebuah Lokalisasi terbesar di barat Jakarta. Kawan saya yang satu, melirik kepada kami dengan tatapan penuh arti. Namun aku hanya menggeleng saja, sebab sudah cukup petualangan malam ini. Lagipula saatnya makan sahur, sebelum waktunya Imsak.
Karena tidak dapat respon dari kami bertiga, kawan saya yang nomor satu mengusulkan agar esok malamnya berkeliling ke daerah Hayam Wuruk dan Mangga Besar. Kami hanya geleng-geleng kepala, melihatnya. Tidak mengiyakan, namun juga tidak menolaknya...

*  *  *

Sebuah kisah getir dari seorang wanita berinisial G:
Ah, bukankah mereka juga mempunyai hak untuk merayakan Idul Fitri
Dan juga memiliki tanggung jawab yang berat,
Harus membelikan pakaian untuk Anak serta keluarganya di kampung...
*  *  *

[Telkomsel Ramadhanku]

* * * * * * * * Choirul Huda * * * * * * * *
_____________________________________________________________________
Foto: diambil via Google
Lirik Lagu: Doa Pengobral Dosa (Iwan Fals)
Note: Hanya sekadar catatan, tidak lebih!
_____________________________________________________________________

Antara Sepucuk Surat Cinta (Jadul), dan Sebuah Kenyataan...

...

ah, duka dihatiku

mengapa tiada orang lain,

karena Dikau;
aku "bersenandung" hingga kini...

______________________
Dari Seorang Pengagummu
Jakarta, 07 Mei 2011
* * *

                     13132543631869777435
hanya sebuah surat cinta usang nan jadul
...
Ha ha ha
Vino tertawa terbahak-bahak saat melihat sebuah surat yang dirampasnya dari Indera. Seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya, kemudian Andi berseru "Hari gini, buat nembak cewek masih pake surat? Inget Kawan, ini udah abad 21, abad teknologi, zamannya Mbah Google berkuasa!" Indra hanya termangu menyaksikan kelakuan Vino yang kurang ajar itu.
"Kalo lo nembak Mira via Sms atau Email aja, gw udah merasa lucu tapi ini masih pake surat, dasar Orang jadul sok melankolis...!" Andi terus mencerca Indra.
"Vino, biarkan surat itu lo kasih sama Indra, ngapain lo pusing-pusing buat melihat apalagi memebacanya. Toh, itu bukan hak lo!" Seru Mira dengan wajah muram melihat kelakuannya.


* * *

Sore itu di sebuah pelataran sebuah kampus swasta nan bergengsi di sudut pusat jakarta, terdapat tiga orang saling bertemu; Vino, Indera dan Mira sang gadis pujaan mereka berdua.
Memang, Mira terkenal sebagai gadis idaman semua laki-laki, baik itu mahasiswa dikampusnya maupun teman-teman didaerah rumahnya. Ia cantik, baik hati, supel dan juga tidak pernah marah menjadikan banyak kaum Adam yang senang mendekatinya. Apalagi saat melihat Mira tersenyum dengan sebuah lesung pipit yang indah, membuat jantung kaum Adam berdebar debar melihatnya.
Diantara sekian banyak pria yang mendekati, hanya Vino yang terlihat begitu gencar. Maklum Vino adalah seorang pemuda yang tampan, Ayahnya pejabat terkenal di Jakarta dan juga Ibunya seorang Pengusaha Butik mewah. Ditunjang kelebihan itu, membuat Vino merasa punya tulang punggung yang kuat untuk mendekati Mira, apalagi ia sendiri adalah seorang Mahasiswa yang lumayan cerdas dan banyak pergaulannya.
Namun, setelah mendengar desas-desus bahwa Indra juga menyukai Mira, ia menjadi naik pitam. Apalagi saat menyaksikan Indra memberi Mira sebuah surat, ya Surat Cinta...!


*  *  *

Vino terlihat kurang senang melihat Mira membela Indra, "Kenapa lo memperhatikan surat jadul ini? Sedangkan sms, email dan saat chatting yang gw lakuin ga pernah sedikitpun lo balas. Giliran cuma surat sampah yang ga ada artinya ini lo malah suka...."
"Vin, gw sebenarnya respek sama lo. Bukannya gw ga mau balas cinta lo selama ini, namun ini semua butuh waktu" Ujar Mira datar.
"Sudah berbulan-bulan gw ngedeketin lo, namun tetap aja ga ada respon dari lo! Giliran cuma sebuah surat jadul aja, lo langsung ngerespon. Padahal apa kelebihan Indra dibanding gw? Gw punya segalanya dibandingkan Indra...!" Vino mendengus sambil matanya memandang sinis kepada Indra.
Dengan dingin Mira mengatakan;
"Memang dibanding Indra lo punya banyak kelebihan, namun (menurut gw) lo juga punya satu kekurangan; yaitu Gw sama sekali ga mencintai lo!"
Kemudian, sambil tersenyum manis ia menambahkan,
"Dan untuk Indra, meskipun hari gini masih mengirim surat jadul namun bagi gw dia mempunyai satu kelebihan yang orang lain ga punya, yaitu: Gw sangat mencintainya..."


*  *  *

Bertolak belakang reaksi antara kedua pria yang saling mencintai Mira,
antara raut kesal karena cintanya ditolak dan
wajah sumringah karena sebab sepucuk surat cinta membuat luluh pujaan hatinya.


*  *  *

Jakarta, 19:00 wib
Di sebuah cafe yang terletak di daerah Kemang, di sudut selatan Jakarta terlihat sepasang muda-mudi sedang akrab berduaan. Berselang tidak lama kemudian, sosok pria itu menggumam "hanya sepucuk surat cinta yang jadul", kemudian dengan mata sayu sang wanita juga mengatakan " ya, surat cinta jadul, namun itulah cinta..." dengan suara yang mendesah lirih...
Entah apa yang dipikirkan mereka berdua, dan entah apa yang mereka berdua pikirkan selanjutnya.

*  *  *


 * * * * * * * * Choirul Huda * * * * * * * *
____________________________________________________________________


Ditulis Oleh : Choirul Huda (114)
Ilustrasi dari : Lintas Berita
____________________________________________________________________




Untuk membaca hasil karya para peserta Fiksi Surat Cinta yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke akun  Cinta Fiksi dengan judul postingan: “Inilah Malam Perhelatan & Hasil Karya Fiksi Surat Cinta [FSC] di Kompasiana“.


17 Agustus: Hari Kemerdekaan Indonesia yang Rakyatnya Sama Sekali Belum Merdeka...!

HUT RI ke 66




Suatu pagi yang tenang di jalan raya daerah segitiga Kuningan, areal yang terkenal elit dan salah satu wilayah terpenting di pusat Jakarta.
Terlihat Sang Saka Merah Putih melambai dengan irama yang teratur, tak tergoyahkan oleh hembusan angin dan tetap terlihat wibawa, apalagi bertepatan dengan "hari" jadinya.
Bendera merah putih begitu anggun terlihat, diantara deretan gedung mewah nan eksotis...
Namun, tepat di seberang sudut bawahnya tampaklah "wajah asli" Indonesia yang sebenarnya.
Kaum Pengemis dan anak-anak jalanan tampak tak perduli, apakah ini memang hari kemerdekaan negaranya atau bukan.
Mereka sama sekali merasa belum merdeka!
Toh, sejak Kakek-Nenek mereka hidup hingga sekarang, mereka masih menjadi kaum terpencil diantara deretan manusia yang merasa sudah merdeka.
Bagi mereka, Merdeka adalah mimpi belaka.
Untuk mereka, Merdeka hanyalah bualan kosong.
Kata mereka, Merdeka itu hanyalah deretan huruf yang tak bermakna.
dan, mereka bilang:
Merdeka itu hanyalah Janji-janji surga yang berhembus diantara kehidupan nyata yang mereka alami sekarang.
Sudah 66 tahun lamanya Indonesia Merdeka, namun...


1313611096424020807
Lambaian Sang Saka Merah Putih...

*  *  *

Ah, ternyata bagi mereka Kaum pinggiran, pengemis, anak jalanan serta banyak rakyat lainnya dan juga untuk diriku sendiri.
INDONESIA SAMA SEKALI BELUM MERDEKA!
Hut RI yang ke 66 hanyalah slogan belaka.
Hari ini (17 Agustus) maupun hari yang sama pada bulan agustus di tahun-tahun sebelumnya maasihlah sama, seperti hari biasa.


*  *  *

Toh, gimana mau bilang merdeka
Kalau untuk makan sehari-hari saja mereka kepayahan
Bagaimana sudah Merdeka,
Setiap barang yang Kami pakai selalu bertuliskan "Made In (Luar Negeri)"
Bagaimana sudah Merdeka,
Kalau lalu lalang jutaan kendaraan di jalan raya
Adalah buatan negara lain
Bagaimana sudah Merdeka,
Ternyata kebutuhan sehari-hari (beras, kacang kedelai untuk tempe, gula, garam, dll)
Masih juga didatangkan dari negara lain
Bagaimana sudah Merdeka
Toh, semenjak belia mereka disuguhi tontonan film dari luar negeri

Bagaimana sudah Merdeka

Sedang untuk mereka, bahkan buat diriku sendiri, masih memakai produk luar
Seperti (Laptop dan isinya, Televisi, Sepeda motor, bahkan untuk urusan yang remeh sekalipun: Gunting Kuku, ternyata produk Luar Negeri!)

*  *  *

Ah,
Ternyata memang benar, Merdeka itu hanya slogan semata...
Bualan kosong para pejabat untuk rakyatnya
Janji-janji Surga para Elit Politik
Gembar-gembor belaka yang diagulkan media massa untuk menarik minat pembacanya...
(Mungkin) aku lebih respek dengan kaum jelata seperti mereka
Yang Tidak perduli, apakah Negara ini sudah merdeka atau belum
Tetapi mempunyai Inisiatif dan realitas yang nyata untuk negara ini
Seperti beberapa orang pengemis yang acuh tak acuh dengan kemerdekaan
Namun rela berpeluh keringat membersihkan selokan parit  yang mampet didepan sebuah gedung mewah
Atau sama seperti para pemulung, yang merasa belum Merdeka
Tetapi dengan penuh tanggung jawab menyingkirkan kerikil dan batu serta pecahan beling dijalan raya untuk dilewati kendaraan orang-orang yang (merasa) sudah merdeka.



1313611825749339323
(mungkin) hanya bendera semata yang merdeka, tidak lainnya!

*  *  *

Suatu siang yang sangat terik, di samping rel depan sebuah gedung percetakan terbesar di Indonesia
Tampak beberapa orang terlihat sibuk membersihkan jalan raya dari banyaknya sampah
dan terlihat juga, seorang Bapak Tua menyusuri pinggiran rel kereta api untuk sesuap nasi
Padahal dari atap gedung  itu, berkibar Bendera Merah Putih yang melambai
Andai kata, sang bendera itu bisa bicara
Tentu ia akan berteriak:
Apakah benar, Negeri ini sudah Merdeka?


*  *  *



* * * * Choirul Huda * * * *
_____________________________________________________________________
Foto: Suara Pembaruan
Note: Merdeka, atau Tidak Sama Sekali!
_____________________________________________________________________

Geliat Pedagang Nanas Menjelang Lebaran (I)

Padat, sumpek, macet, kotor, dan ramai penuh sesak itulah suasana di Pasar Buah Angke, Jakarta Barat, saat saya ikut "Ngabuburit" bersama Ibu.
Kebetulan siang ini hari libur jadi tidak masuk kerja dan juga kuliah, bisa ikut menemani Ibu ke pasar untuk beli Nanas. Rencananya buat bikin kue Nastar yang setiap tahun dijual khusus menyambut hari raya Idul Fitri.
Sambil bersungut-sungut karena kesal menunggu lamanya transaksi, tak sengaja saya melihat pemandangan yang menarik yaitu saat seorang Bapak tua sedang mengupas kulit nanas. Dengan terampil dan cekatan, jari jemarinya sangat mahir menari diantara sela-sela antara kulit dan daging nanas untuk dikupas lebih bersih. Saat itu, Sang Bapak tua hanya tersenyum ketika tahu ada yang memperhatikannya. Kemudian iseng-iseng saya bertanya kepadanya segala macam seluk beluk tentang nanas. Untungnya meskipun lagi sibuk, beliau sangat antusias sekali menjawab pertanyaan dari saya.


1313562555140084685
Jari jemari Bapak Tua asyik menari diantara pisau dan kulit buah nanas
Betapa kagetnya saya ketika tahu, ia hanya seorang buruh lepas dan kerjaan sehari hari sebagai tukang sapu jalanan disekitar pasar Angke. Awalnya saya menganggap bahwa ia bekerja di kios nanas tersebut, namun ia mengatakan bahwa itu hanya sementara, karena ia tidak dibayar oleh sang pemilik kios melainkan dari para pembeli. Dari setiap satu buah nanas yang sudah dikupas dan dibersihkan yang berharga rp 3.500 ia mendapat "upah" sebesar 500 rupiah. Namun bila pembeli membeli utuh dan tidak dikupas, ia tidak mendapatkan sepeserpun kecuali ucapan terima kasih karena sudah membersihkan areal depan dagangan tersebut.
Sungguh miris, karena mengupas nanas memerlukan waktu yang lumayan lama sekitar 10-20 menit perbuah, dikarenakan harus hati-hati karena kulit luarnya yang lumayan tajam dan bikin tangan perih. Sudah begitu menurutnya penghasilan yang didapat paling banyak perhari sekitar 80an buah, dikarenakan juga banyak yang berprofesi sepertinya menjelang lebaran ini.


131356293836921399

Riuh ramai, apalagi menjelang petang hari
Sambil melirik, ia mengatakan bahwa menjelang lebaran memang pedagang nanas sedang laku-lakunya dikarenakan banyak masyarakan yang membeli untuk dibuat kue, seperti Nastar. Dan, nanas yang didatangkan langsung dari Kediri, Jawa Timur dalam semalam bisa sekitar dua truk, meningkat drastis dibandingkan saat hari biasa yang hanya dapat dijual beberapa kwintal saja.
Dengan suasana yang penuh dan padat itu, ternyata selain Nanas ada juga buah yang menjadi primadona disaat bulan puasa ini, yaitu Ketimun Suri dan Blewah. Saat itu kebetulan sedang bongkar muat dari truk ke kios, membikin siang hari yang terik ini menjadi semakin panas. Dan yang paling "Menggoda" adalah saat lewat penjual Es Dawet, untungnya waktu berbuka tinggal beberap jam lagi. Kalau tidak, hmm...
Akhirnya setelah menunggu hampir tiga jam diselingi obrolan yang ngalor-ngidul, selesai juga Bapak tua mengupas nanas untuk Ibu saya, yang berjumlah 60 buah untuk dibuat sekitar sekitar 200 toples. Dan tinggal satu lagi, yaitu nanas ini dibawa ketukang parut untuk digiling menjadi selai. Kira-kira sampai dirumah sampai juga sekitar jam 5an, tinggal menunggu waktu Berbuka Puasa.

*  *  *

1313563595697350900
Dan, inilah Jadinya Kue Nastar...





*  *  *


* * * * Choirul Huda * * * *
____________________________________________________________________

Ilustrasi: Pusukbuhit.com, Jurnalkota.com, dan Dokumen Pribadi
_____________________________________________________________________