Prabowo dan Kedaulatan Selera
ilustrasi buku @roelly87
"WOOOOI, anteng banget bro. Main slot lo ya?"
"Ebuset. Gw lagi mantengin pertandingan AR Roma versus Lecce. Seru banget. Bener-bener detik terakhir menangnya."
"Lukaku ngegolin lagi?"
"Yongkru. Tadi sempat error dia, penalti ga masuk. Untung pas injury time berbalik jadi pahlawan."
"Gokil emang tuh 'Big Rom'. Efek Mourinho bikin doi gacor. Btw, lo kan Juventini, ngapa mantengin Roma. Udah murtad ye?"
"Asem! Gw dari 94 udah Juventini. Nyimak pertandingan Roma karena ada Mourinho sama Dybala aja."
"Ooh... Kirain, lo udah ninggalin 'Si Nyonya Tua' ke pelukan 'Serigala Ibu Kota'."
"Dih... Ogah."
"Ha ha ha."
Demikian percakapan antara gw dan Kemumaki di salah satu kedai kopi di Grey District, Jakarta. Tempat nongkrong yang strategis bagi warga ibu kota dengan harga makanan dan minuman murah meriah.
Selain gw dan Kemumaki, ada Dekisugi dan Kuririn juga yang asyik mengganyang makanannya masing-masing. Kami berempat memang kerap nongki-nongki di kedai ini sambil membicarakan banyak hal.
Mulai dari sepak bola, musik, hingga politik. Apalagi, jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, obrolan kami kian seru.
Kemumaki merupakan die hard-nya Ganjar Pranowo. Sementara, Dekisugi sangat militan dengan Anies Baswedan. Demikian dengan Kuririn yang sejak lama jadi simpatisan Prabowo Subianto.
Gw? Sekadar penggemar Prabowo. Alias, makhluk bebas yang tidak punya kepentingan apa pun terkait tiga capres tersebut.
"All, gw cabut dulu ya," kata Kuririn yang bersiap memakai sepatu.
"Kemane lo? Masih sore gini," Kemumaki menimpali.
"Jangan mampir ke 'warung sebelah' ya," gurau Dekisugi.
"Gelo. Dia ga mampir, tapi udah punya kartu langganan," gw menambahkan.
"Anjir lo pada. Kalian kira, gw cowo apaan," tutur Kuririn. "Dah, ah. Gw cabut. Pagi mau ke Bandung, 'ada proyek' biasa."
"Bawa oleh-oleh ya. Sekalian bayarin pesanan kita-kita ini."
"Nitip 'peuyeum'."
"Tanyain tipis-tipis ya, 2024, Jabar siapa yang maju."
"Au... Ah gelap!" Kuririn ketawa sambil mengacungkan dua jari tengahnya usai membayar pesanan kami ke kasir.
Obrolan khas bapak-bapak memang jadi santapan sehari-hari bagi para penghuni kedai kopi ini. Maklum, pengunjungnya heterogen. Termasuk, profesi dari yang serabutan, calo, pebisnis, politikus, akademisi, hingga penegak hukum.
Apalagi, lokasinya di Grey District yang sesuai dengan penamaannya: Abu-abu.
Ya, berbeda dengan Red District yang juga udah lama gw kenal. Di kawasan itu, semua sudah jelas. Mayoritas penghuninya terbagi antara hitam dan putih.
Ada garis batas antara kawasan hitam yang dipenuhi pelacuran, perjudian, hingga narkoboy dengan warga. Ada yang tidak percaya Tuhan. Namun, di sebelahnya banyak yang sangat taat dengan Tuhan.
Sementara, Grey District ini semua jadi satu. Bahkan, mungkin penghuninya bisa merasa jadi Tuhan.
Itu karena hitam dan putih bercampur. Tidak ada yang benar-benar jahanam. Pada saat yang sama, enggan jadi orang suci.
Grey District ini memang sangat unik. Sudah lama disorot banyak pihak. Baik ulasan media arus utama atau media sosial.
Namun, sejauh ini penghuninya kompak. Jika ada orang luar yang mengusik, mereka langsung bertindak: Hantam dulu, bicara kemudian.
Konon katanya, mereka sudah bersikap seperti itu sejak zaman penjajahan. Penghuni di sana kerap merepotkan Belanda, Jepang, Inggris, dan para pengkhianat bangsa.
Bahkan, jadi inisiator bersama para pahlawan dalam mempertahankan Tanah Air saat perang kemerdekaan, masa bersiap, gerakan September, hingga 1998 silam.
Salah satu petinggi aparat yang berwenang di negeri ini pun sudah mahfum. Misalnya, isu-isu minor yang berkaitan dengan dunia bawah tanah.
"Ya, kami TTPPTT aja lah. Yang penting, warganya sangat berkontribusi," ujarnya dalam suatu FGD. Alias, tahu tapi pura-pura tidak tahu.
Bisa dipahami mengingat Grey Area ini penghuninya sangat keras. Bahkan, mereka menolak tegas kehadiran ormas-ormas menjijikan yang kerjanya memeras rakyat jelata.
Dibuktikan dengan tidak adanya spanduk, baliho, dan sebagainya. Termasuk, bebas parkir liar di setiap ruko atau restoran.
Sementara, untuk pemilu, baik pilpres maupun partai politik, mereka menyambut dengan senang hati. Termasuk, 2024 nanti yang terbagi dengan tiga kubu.
* * *
"BRO, lo gabung Kuririn yang sekarang udah masuk Ring tujuhnya Prabowo," teriak Dekisugi yang suaranya terdengar sayup-sayup akibat bertepatan dengan lewatnya kereta api.
"Ogah. Untuk saat ini, masih pengen bebas."
"Bagus bro, ga usah ikut-ikutan. Dekisugi aja 2019 barengan Kuririn. Eh sekarang pecah kongsi. He he he," Kemumaki, menimpali.
"Biasa kawan, politik itu dinamis. Bisa jadi di putaran kedua, jagoan lo butuh suara dari Prabowo. Kalo Amin kan udah pasti lolos putaran pertama."
"Idih... Yakin bener. Survei aja mentok 20 persen."
"Ya, liat aja nanti pas valentine. Ya kan bro?" ujar Dekisugi meminta dukungan ke gw. Meski sambil ngobrol, tapi mulutnya aktif mengganyang mie instan campur nasi putih dan telur dadar.
"Ya, kalo gw sih, siapa aja yang menang bodo amat. Gw ke Prabowo sebatas penggemar. Kalo menang bagus, kalah pun ga masalah," jawab gw, sok diplomatis.
"Anjir, jawaban lo sok politikus. Wkwkwkw."
"Tapi ini kita ngobrol aja ya. Kalo Kuririn ga usah dibahas, soalnya udah masuk Rute Solo, alias bukan 'jalur H atau D'. Nah, lo ini kan ibaratnya swing voters, alias sekadar penggemar Prabowo tapi belum tentu nyoblosnya," Kemumaki, melanjutkan.
"Sementara, gw udah jelas. Ganjar itu punya prestasi usai 10 tahun jadi Gubernur Jawa Tengah. Begitu juga jagoan Dekisugi yang pengalaman mimpin Jakarta 2017-2022. Nah, pengalaman Prabowo baru sebatas Menteri Pertahanan aja. Bedain sama waktu tentara ya. Itu juga terakhir 1998 silam. Apalagi, doi kan penculik. Aneh sih, kalo gw jadi lo. Nah, pertanyaan gw, apa alasan lo milih Prabowo?"
Pertanyaan Kemumaki membuat Dekisugi yang sebelumnya lahap mengunyah mie langsung serius menatap gw. Keduanya, seperti para hakim yang memberi vonis hukuman mati dalam persidangan.
"Woi, pertanyaan lo serem banget, anjir. Gw berasa jadi terpidana. Ha ha ha."
"Tapi gw setuju sama Kemumaki nih bro. Jadi pinisirin denger jawaban lo," kata Dekisugi sambil meletakkan sumpit ke atas mangkuk dengan khidmat.
"Minta rokok lo Kem, asem. Sebats dulu," lanjutnya. "Anjir, ini rokok apaan. Mereknya aneh. Seumur-umur jadi 'ahli hisap' gw baru liat nih rokok."
"Udah pake aja. Sejak Corona, emang rokok yang beredar aneh-aneh. Gw cari yang bukan merek terkenal biar murah tapi tetap harus ada cukainya supaya pemerintah dapat pemasukan," tutur Kemumaki.
"Sama bjir. Gw juga ganti rokok dari merek satu huruf ke yang ga jelas ini," kata gw terkekeh menunjukkan sebungkus rokok berwarna hitam.
"Rokok kalian aneh ya. Padahal mau pilpres, momen cuan nih," Dekisugi menjawab seraya menyalakan rokok dengan korek kayu.
Makhluk satu ini memang konservatif banget. Di saat korek gas atau cricket sudah lumrah, eh doi tetap setia dengan korek kayu yang kalau dinyalakan harus digesek lebih dulu.
"Eh bro, bener kata Kemumaki. Gw pinisirin sama jawaban lo."
"Anjay, dibahas lagi."
"Yoi, bro. Kalo pilihan gw, Ganjar, dan Anies sebagai jagoan Dekisugi udah jelas. Nah, lo gimana?"
"Ga gimana-gimana Kem. Ini soal selera aja. Gw menggemari Prabowo dari perbawanya sejak 2008. Udah itu aja."
"Prestasinya yang nol? Dipecat dari militer?" Kemumaki, menimpali.
"Capres abadi?" tambah Dekisugi, sarkas.
"Woi... Kalian berdua detail amat. Kalo Prabowo ini soal kedaulatan selera. Subyektif. Sama kayak penggemar fotografi, ada yang dari dulu nyaman dengan Nikon atau Canon. Atau di sepak bola, Kota Manchester terbelah jadi merah dan biru.
Begitu juga di dunia kuliner. Misalnya, lo pada doyan bubur diaduk atau ga diaduk? Kan kembali ke selera masing-masing."
"Gw diaduk sih," jawab Kemumaki.
"Gw mah ga diaduk. Geli anjir, kalo makan bubur diaduk gitu," Dekisugi, menimpali.
"Kalo gw mah bebas. Yang penting ga pake seledri sama kacang," ucap gw.
"Si oneng, jadi bahas makanan. Dah lanjut, pertanyaan gw tadi," kata Kemumaki.
"He he he. Apa ya? Oh soal kedaulatan selera? Ya itu. Meski banyak stigma negatif tentang Prabowo, tapi kalo udah suka ya mau gimana lagi. Ya, sekali lagi. Sekadar menggemari. Ga harus mati-matian membela doi. Sama kayak gw sebagai Juventini. Kalo Juve menang, bagus. Andai kalah, yo wis. Mau gimana lagi. Yang penting, gw tetao cinta Juve sejak 1994.
Terus, ke kalian ini dan Kuririn yang aktif sebagai simpatisan. Emang kalo Ganjar atau Anies menang, lo berdua bakal dilirik jadi menteri? Ga, kan. Jadi, ya kita harus punya garis batas. Jangan berlebihan dalam menyukai sesuatu."
Kemumaki menghisap dalam-dalam rokoknya usai mendengar penuturan gw. Pada saat yang sama, Dekisugi asyik memainkan sumpit layaknya stik drum yang diadu ke mangkuk.
"Dah ah, pembahasan politik bikin gw laper. Mau nambah seblak nih di seberang."
"Bro, gw nitip satu ya."
"Anjir, lo tadi udah makan mie pake nasi sama telor masih kurang aja," timpal Kemumaki.
"Kedaulatan selera, Kem. Tadi kan makan, kalo seblak ini ngemil."
"Gw nungguin uduk Mpok Gayong aja subuh nanti."
"Ha... Ha... Ha..."***
* * *
- Jakarta, 7 November 2023
Artikel Sebelumnya:
Artikel Selanjutnya:
- Prabowo Presiden 2024, Ganjar Mendagri, Anies Menlu, dan AHY Menhan (Bumi 666)
- (What If) Prabowo Kalah Lagi